Sabtu, 20 Maret 2010

Kesesatan dalam gerejaNya

Sejarah gereja memang seringkali dinodai dengan konsep ajaran yang tidak Alkitabiah mengenai ketidakmungkinan pemimpin jemaat untuk berbuat salah. Sehebat apa pun dia, memang sudah kodrat manusi, mendorong orang untuk lepas dari tanggung jawab pribadinya kepada Tuhan. Sebagai pelariannya mereka mencari pemimpin yang dirasa mampu menjawab kebutuhan untuk mempertanggungjawabkan keputusan-keputusan pribadinya. Orang berdosa cenderung mencari pemimpin yang tidak bersalah.
Adalah wajar apabila orang menjadi gamang jika disebut pemimpinnya bisa bersalah. Konsep ini sangat jauh dari harapan orang kebanyakan. Tapi umat Tuhan yang dibekali dengan kebenaran, harus mengingat bahwa hanya Tuhan saja yang tidak mungkin bersalah.

A. Pemimpin Jemaat Bisa Tersesat
Dalam konsep Alkitab sangat jelas bahwa seseorang atau beberapa pemimpin jemaat bisa sesat. Jangankan pemimpin jemaat biasa, seorang nabi atau rasul pun bisa salah. Sejarah gereja banyak diwarnai noktah merah, sesatnya para pemimpin jemaat. Jadi alangkah naifnya jika seseorang mengatakan bahwa pemimpin jemaat mengklaim bahwa dirinya tidak mungkin bersalah. Sesat atau tidaknya, yang menjadi tolak ukuran adalah Alkitab. Sayangnya sering kali pemimpin jemaat dianggap dan diperlakukan seperti “Tuhan” yang tidak bisa salah. Paling tidak, mereka dinyatakan sebagai wakil Tuhan di dunia yang tidak boleh dikritisi dan dikoreksi, sebab jika melakukan hal itu berarti melawan Tuhan. Untuk itu ucapan Daud ketika menghadapi Saul, dimaknai secara membabi buta. “ Jangan mengusik orang- orang yang Kuurapi, dan jangan berbuat jahat terhadap nabi-nabiku”( 1 Taw 16:22; Mzm 105:15 ).
Takutnya seseorang untuk menegur pemimpin yang salah dikarenakan karena egoisme yang menyublim menjadi sikap masa bodoh dan ketakutan yang salah. Para pemimpin yang tidak takut Tuhan aka meneror jemaat dengan intimidasi akan mendapat ganjaran kutuk atau tidak diberkati Tuhan.
Di samping karena adanya pemahaman yang salah mengenai masalah budaya juga yang memberi andil sikap kurang bertanggung jawab ini. Orang Timur kurang berani bersikap kritis dengan terang- terangan mengoreksi. Oleh sebab itu masyarakat Kristen di Indonesia menolak untuk berbicara mengenai kesalahan para rohaniwan/gereja.
Rasul Paulus mengatakan bila dirinya atau malaikat dari Surga memberitakan injil yang berbeda dengan injil yang berbeda dengan injil yan diberitakan Tuhan Yesus, maka perlu dikutuk ( Gal 1: 8-9 ). Paulus menegaskan bahwa hamba Tuhan seperti dirinya bisa berubah dan mengajarnya yang salah. Di sini tampak kejujran Paulus,walaupun ia hamba Tuhan yang sangat besar dengan segala pengalaman rohani yang dialaminya, tetapi ia tetap mengakui bahwa dirinya tetap manusia yang bisa berbuat salah.
Seorang pengkotbah tidak boleh menganggap bahwa kotbah yang disampaikan tidak mungkin salah, sekalipun ia mengatasnamakan Tuhan dalam penyampaiannya. Oleh karena itu pentingnya peran jemaat dalam menganalisis kotbah yang disampaikan. Apakah kotbah yang disampaikan alkitabiah atau tidak? Atau sekedar ayatiah karena diambil berdasarkan ayat- ayat Alkitab namun isinya pola pikir manusia yang justru tidak Alkitabiah dan menyesatkan gereja Tuhan..Karena ukuran kebenaran bukan suara Tuhan yang didengar dari hamba Tuhan atau nubuat, karena nubuat dan suara yang diakui sebagai suara “Tuhan” bersifat subjektif dan sangat besar kemungkinannya salah, maka ukuran kebenaran hanya Alkitab. Kalau seorang rasul seperti Paulus bisa mempertimbangkan dirinya bisa salah dalam menyampaikan pemberitaannya, apalagi pendeta pada hari ini; sangat besar kemungkinannya untuk bisa menyimpang dari kebenaran Alkitab. Orang yang berhenti bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan karena merasa sudah dewasa padahal belum dewasa, pasti pengajaran yang diajarkan tidak sepaham dengan apa yang Tuhan Yesus ajarkan.
Untuk itu alkitab dalam 1 Yoh 4: 1 mengatakan agar setiap kita menguji setiap roh. Bukan orang semata, tetapi roh dan tentu ajarannya. Menit ini si pengkotbah bisa memberitakan kebenaran Tuhan tetapi bisa saja kemudian ia menjadi sesat.





B. Wajah Gereja Masa Kini
Beberapa dasawarsa belakangan ini, telah terjadi perpindahan besar- besaran anggota gereja ke gereja lain. Kebanyakan polanya adalah dari gereja- gereja mainstream pindah ke gereja- gereja movement. Gereja- gereja mainstream yang dimaksud adalah gereja- gereja lama. Tetapi belakangan ini, pola perpindahannya mengalami perubahan dari gereja yang “kurang disenangi” menuju gereja yang “sesuai selera” jemaat.
Perpindahan ini memang tak dapat dihindarkan tapi yang menjadi permasalahan serius untuk diteliti adalah apa penyebab perpindahan tersebut? Jika kita telaah, maka kita dapat menemukan bahwa jemaat tidak menemukan “kebutuhan” di gereja “lama”. Gereja- gereja mainstream dianggap tidak dapat memuaskan “dahaga” jemaat akan nilai persekutuan. Acaranya persekutuan atau keakraban, maka itu akan diserbu oleh jemaat Tuhan. Acara- acara monoton dalam gereja yang tekanannya pada liturgi menimbulkan kejenuhan dalam jemaat Tuhan.
Gereja mainstream dianggap telah suam dan sekaligus dituduh tidak berjalan dalam kebenaran Tuhan. Melalui persekutuan seperti itu, akhirnya banyak bermunculan acara- acara kebaktian, seperti KKR, kebaktian kesembuhan ilahi, dan sebagainya. Di samping sebagai penyejuk jemaat Tuhan, ini juga membangkitkan gereja agar tetap terjaga.
Secara cerdas, seorang tokoh etika Kristen, J Verkuyl, menyatakan bahwa terjadinya migrasi bahkan munculnya sektarianisme dalam gereja Tuhan sejatinya merupakan akibat “utang” gereja yang belum lunas. Ketika gereja berutang, akibatnya Tuhan akan mencelikkan mata gereja melalui “ajaran” pemulihan atau bisa jadi ektrem yang merupakan efek dari pincangnya gereja.
Kekristenan di Indonesia mengalami pergerakan- pergerakan dan perubahan- perubahan yang signifikan. Harus diakaui bahwa dampak positifnya adalah orang Kristen yang tadinya tidak datang ke gereja menjadi jemaat yang setia dan mulai aktif di dalam pelayanan. Melalui acara- acara di luar gereja “lama”, terbangun pola ibadah baru yang terasa akrab, lagu- lagu yang dinyanyikan, kotbah-kotbah yang disampaikan serta respon yang spontanitas dalam merespon kotbah yang disampaikan, dan sebagainya yang telah menyebabkan warna jiwa ibadah dan hidup kekristenan jemaat bahkan teologinya berubah. Inilah yang menyebabkan jemaat tidak betah dengan liturgy atau pola ibadah di gereja “lama”. Sebagai efek samping dari meningkat tajamnya kebutuhan pengkotbah, maka munculnya para pengkotbah kelas “karbitan” yang mengaku “membawa api kebangunan rohani”. Kelompok ini berusaha membawa sebanyak mungkin jemaat keluar dari gereja lama dan masuk ke dalam persekutuan yang dipromosikannya sebagai lebih tinggi kualitas rohaninya.
Perpindahan jemaat ini memuculkan tuduhan “mencuri domba orang lain”. Gereja- gereja baru biasanya tidak peduli dengan tuduhan semacam ini. Iklim ini bisa diciptakan dalam lingkungan gereja di Indonesia: pemodal kuatlah yang berhasil menarik jemaat. Tak dapat disangkali, muncul kompetisi di dalam gereja untuk mendapatkan jemaat yang lebih banyak lagi untuk masuk ke dalam persekutuan mereka. Dari menampilkan artis- artis, penyanyi rohani, janji kesembuhan pemulihan ekonomi dan sebagainya yang menjadikan ibadah lebih “dinikmati”. Dalam fenomena ini, kesatuan tubuh Kristus menjadi bias.
Jemaat awam yang tadinya muncul sebagai “penggembira” tanpa peran sama sekali dalam pelayanan ternyata mampu menjadi tokoh-tokoh utama dan pemimpin dalam gereja yang baru. Dalam hal ini mulai terbangun “keimaman awam”, artinya orang yang tidak pernah duduk di sekolah teologia atau mendapat pelatihan sebagai pendeta dapat menjadi rohaniwan yang berkotbah di depan jemaat yang mengatasnamakan Tuhan menyampaikan firmanNya. Dalam hal ini terdapat kecenderungan mudahnya seseorang menyandang jabatan pendeta. Dengan berkata demikian bukan berarti untuk menjadi pendeta harus sekolah teologia tapi jika seseorang yang tidak pernah sekolah di bangku teolagia berkotbah di depan jemaat, sangat besar kemungkinan kotbahnya tidak alkitabiah, karena tidak diambil berdasarkan eksegesis atau penafsiran yang benar. Untuk menafsirkan apa yang tertulis di dalam alkitab dibutuhkan pengetahuan mengenai budaya pada saat kitab itu ditulis, bahasa asli kitab itu dan untuk siapa kitab itu ditulis. Jika tanpa penafsiran dan pengertian yang benar, kotbah yang dari alkitab pun sebenarnya hanyalah alat setan yang digunakan untuk merusak pola pikir manusia. Kelihatannya benar karena diambil dari alkitab namun hanya “ayatiah” tidak alkitabiah. Alangkah menakutkannya hal ini.
Sekarang mari kita pertanyakan dengan jujur, apakah jemaat sekarang yang berbondong- bondong datang ke gereja benar- benar mengalami kelahiran baru atau menjalani hidup sesuai kebenaran seperti yang Tuhan Yesus ajarkan? Hendaknya ukuran lahir baru yang dipahami bukan hanya berdasarkan ukuran bahwa mereka yang tadinya tidak datang ke gereja sekarang sudah datang ke gereja. Pembaharuan hidup tidak hanya diukur dengan kehadiran dalam kebaktian, tetapi perubahan hidup.
Bila kit baca dalam 2 Kor 5:17 mengenai hidup baru di dalam Tuhan, kita menemukan cirri- cirri seseorang yang benar- benar telah mengalami hidup baru dalam Kristus. Ciri – cirri itu antara lain : seseorang yang lahir baru, hatinya tertaruh dalam Kerajaan Surga, dengan demikian berkerinduan bertemu dan hidup bersama dengan Tuhan di Sorga, sehingga kematian tidak lagi menjadi hantu yang menakutkan, berusaha untuk hidup berkenan di hadapan Tuhan sehingga menjadi mempelai yang tidak bercacat cela. Penghayatan ini disinggung oleh Paulus di dalam 2 Kor 4:18, bahwa ia tidak memperhatikan apa yang kelihatan namun memperhatikan apa yang tidak kelihatan. Ini sejajar dengan kotbah Tuhan Yesus di bukit di dalam Mat 6:19-20, jangan kumpulkan harta di bumi,karena ngengat dan karat dapat merusaknya dan pencuri dapat membongkarnya. Adalah suatu kemalangan kalau kita terbelenggu dengan apa yang kelihatan, filosofi matrealisme. Penghayatan terhadap kebenaran ini membuat seseoarang memiliki logika rohani, yaitu pola pikir yang berbasiskan kepada dunia yang akan datang ( 1 Kor 15: 32 ).
Hidup baru memiliki kualitas yang sangat tinggi. Bukan hanya sekedar melakukan kegiatan gereja, kegiatan gereja hanya sebagai sarana kita dalam hidup beragama. Tetapi hidup baru yang benar akan menebarkan keharuman Kristus yang sejati. Orang yang benar-benar hidup di dalam Kristus, akan benar-benar menunjukan kualitasnya ketika menghadapi berbagai pengaruh dunia ( Luk 18:1-8 ). Ia tidak hanyut dalam nafsu ( Luk 17 : 22-37 ). Ia telah menghayati apa yang Tuhan Yesus katakana, yaitu “di mana hartamu berada disitulah hatimu berada “.
Seringkali keberhasilan pelayanan diukur dari bertambahnya jumlah jemaat yang masuk menjadi anggota gereja, bahkan dari jemaat non Kristen bertobat menjadi Kristen. Maka dari itulah gereja- gereja dengan berbagai cara berusaha mengajak orang untuk bergabung menjadi anggota gerejanya. Orang- orang di luar Kristen pun diajak untuk ke gereja. Hendaknya pertumbuhan jemaat yang dapat dilihat dari munculnya petobat- petobat baru bukan hanya orang percaya yang pindah gereja. Tidak cukup hanya mendatangkan petobat- petobat baru ke dalam gereja. Tapi juga harus didewasakan sampai terjadinya perubahan pola pikir, sehingga ia mengerti apa yang baik, berkenan, dan sempurna
( Roma 12: 2 ).
Proses penyelamatan jiwa adalah proses yang tidak sederhana. Hendaknya gereja tidak cukup puas hanya dengan kehadiran sejumlah orang yang tidak bergereja menjadi anggota gereja yang aktif. Seperti halnya proses menjala ikan dari sungai, laut diproses sampai di meja makan. Bila ikan itu sudah dimasak, maka ia tidak lagi berenang ke tempat asalnya. Demikanlah proses menjala jiwa, dari seorang yang tidak percaya dan berdosa menjadi percaya dan bertobat yang akhirnya dapat memperagakan hati, pikiran, dan perasaan Kristus dan tidak lagi kembali ke dalam lumpur dosa
Gereja dipanggil utuk menjadi agen transformasi atau agen perubahan. Yang diubah adalah karakternya bukan aksesorinya. Bila fokusnya pada aksesori atau predikatnya saja berarti ini menyesatkan dan membinasakan.
Perubahan karakter sehingga seseorang dapat mengenakan pikiran dan perasaan Kristus memampukannya untuk mengalirkan pikiran dan perasaan Tuhan. Bila sudah sampai tahap ini, barulah seseorang bisa mengabdi dan melayani Tuhan dengan benar. Bila belum sampai pada tahap ini pasti banyak motif- motif yang tidak murni.
Segala tindakannya yang sesuai kehendak Tuhan pasti berdampak positif dan memberkati orang- orang yang di sekitarnya. Sebenarnya menjadi agen perubahan inilah yang dimaksudkan Tuhan Yesus dalam injil Matius yang berbicara mengenai garam dunia.( Mat 5:14-15 ). Menjadi garam yang memberikan cita rasa Kristus kepada masyarakat inilah pelayanan tanpa batas.
Sayangnya banyak orang mengukur ibadah dari ukuran kita ke gereja setiap minggunya, bahkan rela meniggalkan bisnis untuk jadi pekerja full timer gereja dengan alas an pelayanan. Padahal inti dari pelayanan adalah penggunaan seluruh potensi kehidupan untuk kepentingan Tuhan yang juga dirasakan oleh manusia di sekitar kita.
Seseorang yang mengerti inti pelayanan dengan benar akan menjadi duta- duta Kerajaan Sorga dan menebarkan keharuman Bapa Sorgawi.
Kalau pelayanan gereja tidak bertujuan untuk merubah manusia normal menjadi manusia yang normal di mataTuhan, maka gereja pun pasti hanyut dalam usaha menyelamatkan kehidupan duniawi yaitu pemenuhan kebutuhan jasmani semata- mata. Usaha yang terfokus pada pemenuhan kebutuhan jasmani akan membuat seseorang menjadikan seseorang tidak mengerti maksud kedatangan Tuhan Yesus ke dalam hidup kita, yaitu memberikan hidup yang berkelimpahan.( Yoh 10:10 ).
Kata kelimpahan dalam ayat ini dalama teks aslinya adalah “perissos”,yang artinya very highly in quality. Inilah maksud kedatangan Tuhan Yesus, yaitu memberikan hidup yang sangat berkualitas bukan seperti anak dunia melainkan seperti bangsawan sorgawi.
Ironisnya gereja model inilah yang sangat digemari oleh jemaat,sehingga timbul persaingan kuasa dan mujizat di antara gereja- gereja. Inilah yang ditangisi oleh Paulus, bahwa banyak orang menjadi seteru salib Kristus, pikiran mereka tertuju kepada perkara- perkara duniawi. ( Flp 3:18-19 ). Mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya keselamatan yang Yesus berikan untuk mengembalikan manusia kepada rancanganNya/ hakikatnya sebelum jatuh ke dalam dosa. Dengan demikian akan mengubah pola pikir manusia normal menjadi manusia yang normal di mataTuhan. Sehingga filosofi hidupnya yang tadinya “kelimpahan materi adalah tujuan hidup” menjadi orang yang rela tidak memilik tempat untuk meletakan kepalanya. Dengan memiliki filosofi ini tidak membuat kita menjadi miskin.
Banyak gereja tampil sebagai pemberitaan penyelamat ekonomi dengan segala janji kelimpahan materi dan pemenuhan kebutuhan jasmanni lainnya. Iklim gereja yang demikian menampilkan Yesus sebagai “mesias ekonomi” yang diharapkan menjadi solusi ekonomi bagi jemaat.
Fokus hidup yang ditunjukan kepada pemenuhan jasmani dengan memanfaatkan kuasa Tuhan berakibat buruk. Pertama, Jemaat tidak bertanggung jawab dengan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Mereka memanfaatkan doa seperti mantra untuk dapat menggunakan nama “Yesus” sebagai jawaban persoalan mereka. Tidak salah berdoa meminta pertolongan Tuhan, namun ingat doa punya tempatnya sendiri dan tanggung jawab pun punya porsinya tersendiri dan tanggung jawab tidak bisa digantikan dengan doa. Karena hakekatnya manusia harus bertanggung jawab.
Kedua, fokus jemaat tidak lagi tertuju kepada kerajaan Sorga. Kerajaan yang akan dibangun Yesus bukan datang dari dunia ini ( Yoh 18: 36 ), tetapi banyak orang kristen yang mempunyai fokus pada dunia hari ini. Kecenderungan mencari Tuhan hanya semata- mata untuk pemulihan dan pemenuhan kebutuhan keluarga, ekonomi, jodoh dan perkara dunia lainnya. Hal ini mengakibatkan orang Kristen terikat dengan dunia. Keterikatan dengan dunia berarti menyembah Iblis ( Luk 4:5-8 ).
Tuhan bisa memberikan pemulihan atas pemenuhan kebutuhan jasmani kita , karena sebenarnya Ia sanggup memulihkan kehidupan umatNya. Tetapi kalu umat ke gereja hanya sekedar meminta pertolongan Tuhan dalam menyelesaikan kebutuhan jasmani, maka umat tidak akan mengerti esensi keselamatan sama seperti Tuhan Yesus memandang keselamatan tersebut. Oleh sebab itu manusia tidak boleh menuntut mengubah dunia ini menjadi firdaus karena bumi sudah terkutuk ( kej 3:17 ).

KESUKSESAN MENURUT TUHAN
Dalam Matius 6:19-20, Tuhan Yesus berkata”kumpulkan harta di Sorga bukan di bumi”, Paulus pun dalam tulisannya kepada jemaat di kolose berkata “carilah perkara yang di atas bukan yang di bumi”( Kol 3:1-3 ). Orang Kristen bukan tidak boleh kaya, yang tidak boleh adalah ingin kaya dan terikat dengan kekayaan tersebut. Bila Tuhan menjumpai gereja hanya dihuni oleh orang-orang yang merasa diberkati secara financial tetapi hatinya melekat pada dunia maka rapornya akan merah.
Banyak gereja tidak menyadari bahwa rapornya merah di mata Tuhan. Mereka merasa sebagai gereja yang diberkati Tuhan. Kondisi seperti ini sama seperti apa yang dialami jemaat Tuhan pada abad pertamayang tertulis dalam Wahyu 3 :17, mereka merasa kaya padahal di mata Tuhan mereka melarat, buta, dan telanjang. etapa mengerikannya keadaan ini.
Tuhan Yesus dalam Matius 16:26 mengatakan, “ apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang diberikannya sebagai ganti nyawanya?”, Di sini seluruh dunia artinya segala “kesuksesan”menurut ukuran manusia. Dalam teks aslinya, kata kehilangan ditulis dzemioo ) yang artinya “mengalami pengalaman kerusakan “, Jika ayat tersebut diterjemahkan dengan bebas, maka dapat dituliskan, “Apa gunanya seseorang memperoleh dunia tetapi jiwanya rusak?”
Dalam 1 Yoh2:15, Alkitab berkata,”Janganlah kamu mengasihi dunia ini dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu.” Maksud ayat ini adalah, jikalau seseorang mengasihi dunia, maka jiwanya akan rusak karena kasih Bapa tidak ada pada orang itu . Dan inilah yang terjadi sekarang, banyak orang yang mengasihi dunia dan pengertian akan kesuksesannya sudah keliru. Mereka berusaha meraih sukses dengan cara mencintai dunia.
Sebaliknya jika seseorang mengasihi Tuhan, ia akan mendesak untuk memiliki interaksi dengan Tuhan dan menikmati nikmatnya hubungannya dengan Tuhan. Sehingga hari demi hari orang akan membangun kesuksesan dengan jiwa yang sudah dibaharui. Sebuah cita rasa hidup yang diubahkan, sehingga gelar, kekayaan, pangkat tidak menjadi ukuran kesuksesan.


TANGGUNG JAWAB GEREJA
Kegiatan gereja harus difokuskan dalam memberikan agar jemaat tidak menjual diri kepada kuasa kegelapan tetapi mengabdikan seluruh hidupnya bagi kepentingan Tuhan. Perjalanan hidup ini adalah perjalanan mengerti apa yang Tuhan ingini dan melakukan apa yang Tuhan kehendaki. Kehidupan seperti ini adalah kehidupan yang telah mati bagi dirinya sendiri dan menyadari bahwa hidupnya bukan miliknya sendiri tetapi kita hidup bagi kemuliaanNya.
Keunggulan orang Kristen bukan saja memiliki pengampunan dosa dan jaminan pemeliharaan hidup yang Tuhan berikan untuk kita. Tetapi keunggulan hidup orang kristen karena langit dan bumi baru yang dijanjikan bagi kita. Inilah yang seharusnya menjadi objek iman. Sehingga iman jemaat bukan lagi difokuskan mengenai pemenuhan kebutuhan jasmani melainkan untuk menyongsong langit baru dan bumi yang baru yang Tuhan janjikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar